Orang Tua dan anak yang beranjak remaja tak jarang mengalami konflik atau perbedaan pendapat, mulai hal-hal yang sederhana sampai hal-hal yang prinsip.
Selisih paham antargenerasi memang sering kali menjadi pemicu percekcokan antara anak dan orang tua. Sebagian remaja menganggap pandangan orang tua sudah tak sesuai lagi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Di lain sisi, buat sebagian orangtua, menghadapi anak-anak mulai dapat berargumentasi adalah suatu mimpi buruk. Orangtua merasa anak-anak remaja mereka sudah terlampau jauh melangkahi pakem-pakem tradisional sehingga tak jarang orang tua menilai remaja sebagai pembangkang, tak menghormati generasi pendahulu, bahkan menuding mereka mengalami degradasi moral.
Bila tak disikapi, bayang-bayang ketakutan melakukan kesalahan serta kekhawatiran melewati batasan kepatutan bersikap di hadapan orang yang lebih tua bisa membentuk pribadi-pribadi yang pasif menanggapi suatu isu. Alih-alih berani menunjukkan posisi dan pandangan dengan berbekal sederet argumentasi, sebagian anak-anak dan remaja, bahkan sampai orang dewasa, cenderung hanya mengikuti opini mayoritas sekalipun tak sejalan dengan apa yang mereka pikirkan atau rasakan.
Sejumlah penelitian membuktikan berbagai hal-hal positif yang dipicu dari kebiasaan berargumen dan berdebat yang ditanamkan sejak kanak-kanak.
Gwen Dewar, Ph.D. dalam situs Parenting Science mengatakan, kebiasaan debat yang diperkenalkan kepada anak sejak kecil dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang sangat berguna dalam aneka konteks interaksi. Dengan belajar berdebat, logika anak akan terlatih dan berdasarkan sebuah studi, hal ini mampu menggenjot skor IQ mereka.
Dewar berpendapat bahwa anak-anak perlu dilatih untuk menghadapi argumen-argumen yang menyerang balik pernyataan mereka yang dilandasi dengan serangkaian bukti. Ini akan menghindarkan anak dari cara pikir seragam yang tak jarang membikin mereka tumbuh menjadi fanatik.
Deanna Kuhn, profesor Psikologi dan Edukasi di Columbia University mengemukakan, anak-anak yang dibiasakan berdebat akan mampu memahami bermacam-macam perspektif mengenai isu-isu kontroversial.
Di samping itu, pelajaran berdebat juga dapat memompa kepercayaan diri serta komitmen anak saat memilih satu perspektif dalam melihat isu. Sehubungan dengan kemampuan berkomunikasi, berdebat juga menjadi cara alternatif melatih kemampuan berbicara di depan publik.
Di sekolah Sir William Burrough, Inggris, kemampuan berbicara di depan publik mulai diajarkan sejak anak duduk di kelas 4 dan 5 secara umum, bukan hanya untuk siswa yang mengikuti ekstrakurikuler debat. Pengajaran keahlian ini diakreditasi oleh English Speaking Board (ESB).
Salah satu pengurus ESB di sekolah negeri di Inggris, Peter Gibley menyampaikan hal penting yang didapatkan dari pelajaran berbicara di depan publik ini. “Seseorang hanya akan menjadi pembicara yang baik jika ia terlebih dahulu menjadi pendengar yang baik,” ujarnya seperti dilansir The Guardian.
Ketika berdebat atau berbicara di depan publik, anak akan diberi kesempatan untuk mendengarkan dan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tanpa interupsi. Dampaknya, mereka akan dapat mengembangkan ide dengan lebih baik yang nantinya bisa dikelola untuk memperbaiki argumen-argumen dalam berdebat.
Daley dan Dahlie (2001), dalam buku 50 Debate Prompts for Kids menulis, lima tahapan proses debat yang penting disosialisasikan kepada anak-anak. Lima tahap itu adalah
(1) Pengumpulan sebanyak mungkin informasi terkait suatu isu;
(2) Mengeksplorasi pendapat-pendapat yang mendukung dan menantang pandangan mereka;
(3) Membangun pernyataan yang menunjukkan posisi anak sehubungan dengan isu yang ingin diperdebatkan;
(4) Mempertahankan pernyataan tersebut;
(5) Mengembangkan cara pandang setelah memperoleh aneka masukan dan kritik dari debat yang dilakukan. Yanuar Jatnika
Download disini