(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Orangtua Jadi Guru di Sekolah, Why Not?

Admin disdikpora | 11 Februari 2019 | 609 kali

Kita berupaya tak ada lagi kasus kriminalisasi guru maupun konflik orangtua-guru. Semua berjalan selaras dalam harmonisasi yang mulia, yaitu mencerdaskan anak bangsa dengan setulus hati. Sekolah dan orangtua secara kolaboratif menumbuhkembangkan anak menjadi insan yang berbudi luhur, cerdas, memiliki etika dan estetika untuk menjalani serta menjaga marwah kehidupan.

Karena itu, merajut hubungan yang harmonis antara sekolah dan orangtua mutlak dilakukan. Harmonisasi itu harus sampai pada hubungan melibatkan orangtua siswa secara aktif dalam kegiatan-kegiatan sekolah (Shields, 1994). Mereka turut aktif menentukan dan membuat program bersama sekolah dan pemerintah. Baik yang terkait langsung dengan kegiatan pembelajaran maupun non-instruksional.

Keterlibatan orangtua pada pendidikan anak di sekolah punya dampak postif. Di antaranya pencapaian akademik dan perkembangan kognitif siswa dapat berkembang secara signifikan. Orangtua dapat mengetahui perkembangan anaknya dalam proses pendidikan di sekolah. Orangtua akan menjadi guru yang baik di rumah dan bisa menerapkan formula-formula positif untuk pendidikan anaknya. Pun orangtua memiliki sikap dan pandangan positif terhadap sekolah. (Rhoda, 1986).

Lantas, bagaimana melibatkan orangtua di sekolah? Yang menarik adalah orangtua dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran. Orangtua bisa menjadi ’guru’ di sekolah. Ini yang belum terwujud hingga saat ini. Berbagai alasan salah satunya karena kebanyakan orangtua belum bisa membagi waktu antara bekerja dengan menjadi mitra guru di sekolah.

Sekolah bisa membujuk para orangtua agar mau diajak berperan serta dalam kegiatan mengajar. Mereka harus duduk bareng membuat kesepakatan terkait hal ini. Yang jelas tujuannya sama,  yakni demi membekali kecakapan hidup untuk anak-anak mereka.

Mulanya sekolah melakukan pelatihan khusus untuk orangtua siswa agar perannya sebagai mitra di sekolah jauh lebih baik. Syukur jika pemerintah menyediakan anggaran workshop. Sehingga pelatihan ini bisa mengundang dinas pendidikan setempat dan pakar pendidikan dari perguruan tinggi. Berbagai pengetahuan yang didapatkan dari pelatihan itu kemudian dituangkan dalam rancangan kurikulum.

Kemudian sekolah bersama orangtua merancang kurikulum ekstrakurikuler. Misalnya ekstrakurikuler kewirausahaan, seni budaya setempat, dan sebagainya. Yang jadi gurunya adalah orangtua. Mereka dengan berbagai latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan budaya yang beragam sebenarnya mampu untuk berbagi kemampuan di bidangnya.

Pelibatan orangtua mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi pembelajaran. Dengan seperti itu diharapkan mendorong para orangtua untuk punya rasa memiliki sekolah. Mereka akan jauh lebih bertanggung jawab terlibat proses pendidikan anak di sekolah.

Akhir kata, saya yakin adanya kolaborasi orangtua dan sekolah, dapat meningkatkan outcome anak, terutama dalam prestasi akademik dan pembentukan karakter. Karena itu, meningkatkan partisipasi orang tua dalam pendidikan pada semua level dan jenjang ialah keharusan. Adapun cara-cara kreatif dan inovatif tentang bentuk partisipasinya bisa berasal dari dan atas inisiatif sekolah dan juga orang tua. (Kurniawan Adi Santoso - Guru SDN Sidorejo, Sidoarjo; Foto - Fuji Rahman)