(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Orangtua Perlu Paham Cara Belajar Generasi Millenial

Admin disdikpora | 08 April 2019 | 739 kali

Ayah Bunda,...mungkin sekarang ini sering dengar dengan istilah millenial atau tepatnya generasi millenial. Menurut laman The Guardiansecara tersirat dikatakan, generasi millenial adalah mereka yang lahir antara tahun 1980an hingga 2000an. Salah satu ciri utama generasi millenial, menurut laman itu adalah senang dan akrab menggunakan media digital sebagai sarana informasi dan komunikasi.

Generasi millenial kerap disebutkan memiliki label negatif seperti pendeknya kemampuan berkonsentrasi, senang menceritakan dan membagikan apapun di sosial media. Namun, di sisi lain, banyak juga sisi positif mereka, yakni pekerja cepat, dan kemampuan berpikir yang out of the box alias keluar dari pemikiran umum.  Yang jelas, ciri-ciri umum mereka adalah belajar tidak hanya dengan membaca buku kertas, tetapi semua media yang berbasis elektronik, termasuk belajar jarak jauh.

Menurut Southeast Asian Ministers of Education Organization Open Learning Centre (SEAMOLEC), belajar jarak jauh adalah proses belajar yang peserta didiknya terpisah dari pendidik, dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

Ayah Bunda....menghadapi generasi millennial seperti itu butuh cara dan metode baru untuk mengasuh dan mendidiknya. Pola asuh dan cara belajar yang diperoleh ayah dan bunda di masa lalu mungkin sudah tidak tepat diterapkan pada anak anak generasi millennial.

Apa yang dapat dilakukan orang tua?

Pertama, harus ada kesepakatan bersama dalam penggunaan media digital antara orangtua dan anak. Kesepakatan tersebut meliputi durasi, kapan dan di mana anak boleh menggunakan media digital, khususnya penggunaan gawai. Pedoman yang dikembangkan oleh American Academy of Pediatric (AAP) menyebutkan, anak kurang dari 3 tahun, sebaiknya dijauhkan dari gawai, kecuali untuk mendengarkan lagu-lagu, atau aktivitas belajar di bawah bimbingan orang dewasa. Dalam hal ini, orang dewasalah yang mengontrol penggunaan gawai, memilihkan aktivitas, memegang dan menjelaskan pada mereka.

 

Kedua, kenali kebutuhan belajar anak. Belajar tidak cukup pada tingkat “mengetahui”, namun anak juga harus mengembangkan kemampuan reflektif, analisis, dan evaluasi. Tentu saja sesuai tahap perkembangannya.

 

Ketiga, untuk mengetahui "kekurangan" level kemampuannya, ajaklah anak untuk ngobrol, mendiskusikan materi pelajaran sekolah dan menghubungkannya dengan realitas sehari-hari. Menonton bersama anak film sains, atau film bertema kehidupan sosial, atau saluran televisi  tertentu seperti TED-X bisa memancing anak berkomentar tentang  isu-isu di sekitarnya. Selanjutnya anak ditantang untuk melakukan hal-hal yang produktif seperti menulis, menggambar, membuat video dan lain-lain.

 

Keempat, gunakan teman yang menguasai bidang tertentu untuk memberikan masukan atas perkembangan belajar anak. Orangtua tidak harus ahli dalam segala bidang untuk bisa mendukung berkembangnya potensi anak. Teman atau relasi orangtua yang ahli dalam bidang yang diminati anak dapat membantu memberi masukan atas capaian anak.  Misalnya potensi anak menggambar. Cobalah memfoto gambar anak, kirimkan pada teman yang ahli dan mintakan masukan. Mereka biasanya akan dengan senang hati menilai apa kelebihan anak dan di area mana anak harus belajar atau berlatih lagi meningkatkan potensinya

 

Kelima, Video call! atau pangilan bergambar jarak jauh. Dengan cara ini anak bisa ngobrol dan diskusi langsung dengan ahli melalui platform video call. Ahli bisa temannya sendiri, atau teman orang tua yang dinilai mampu membantu meningkatkan potensi anak.

 

Jangan lupa, media digital sesungguhnya hanyalah alat pendukung bagi proses belajar. Media digital bukanlah pengganti peran orang tua. Belajar anak yang utama adalah dari ajaran, teladan dan teladan dari orangtua.

Sri Lestari Yuniarti, Subdit Pendidikan Orang Tua