“Rumah tanpa buku, laksana tubuh tanpa jiwa”
Ada banyak jalan menuju Roma. Ada berlimpah cara pula untuk mengenalkan pengalaman pra-membaca pada anak. Satu dari itu adalah dengan mendekatkan fisik buku ke anak-anak. Tentang ini saya memiliki kisah menarik, yang pada beberapa kesempatan pernah saya ungkap.
Begini ceritanya.
Saya termasuk suka membaca buku. Salah satu buku yang saya sukai berjudul Andai Buku itu Sepotong Pizza karya Hernowo. Buku ini menjadi salah satu rujukan saya saat belajar menulis. Nah, tentang menulis, kebetulan saya lebih banyak menjadikan tema seputar budaya membaca dan menulis (literasi) sebagai tema tulisan. Dan dalam tulisan itu, saya sering menggunakan frase “kunyah kertas” sebagai pengganti kalimat “tingkat minat baca seseorang terhadap buku”.
Ada Andai Buku itu Sepotong Pizza, dan ada pula kunyah kertas. Cerita saya lanjutkan. Saat itu anak pertama saya, Auliya masih berusia 7 bulan. Ia senang sekali berguling-guling di kasur, merayap, berusaha meraih apa saja yang ada di depannya. Salah satunya adalah kertas. Baik berupa buku, koran, maupun majalah. Begitu kertas berhasil diraih, langsung saja benda itu dimasukkan ke dalam mulut, dan dikunyah-kunyah.
Pernah suatu kali, ketika mamanya (istri saya) hendak menyusui, mendapati sobekan kecil kertas tertingal di mulut Lia.
”Ayah sih suka baca Andai Buku itu Sepotong Pizza dan menulis kunyah kertas, dedek (Lia) jadi mengunyah kertas betulan,” kata istri saya bercanda.
”Dikira Pizza kali Ma,” kata saya menanggapi.
Beruntung istri saya juga suka membaca. Jadi insiden kertas di mulut Lia, tidak menyebabkan kami saling menyalahkan, alih-alih bersitegang. Yang ada justru kami menjadikan itu sebagai bahan guyonan.
Ketika saya mengirim SMS soal pizza, kunyah kertas, dan Lia ini ke Pak Hernowo, penulis buku tersebut menjawab: ”Semoga kelak putri Anda benar-benar mengunyah/membaca teks yang ada di kertas tersebut untuk mengembangkan pikirannya.”
Jawaban yang membuat hati kami berbunga. Lantaran memang itu harapan saya dan istri.
Tentu saja, pesan penting cerita di atas bukan pada kebiasaan Aulia yang suka mengunyah kertas, tapi pada upaya mengenalkan buku sebagai fisik kepada anak-anak.
Jadi sejak bayi, saya memang sudah berusaha mengakrabkan Aulia dengan buku sebagai benda. Bukan sebagai himpunan teks yang memiliki banyak manfaat, yang mengandung ilmu pengetahuan, cerita, hingga informasi penting. Buku lebih saya tempatkan sebagai sarana awal bagi Aulia mengeksplorasi kemampuan motorik kasarnya.
Apa risiko mengenalkan buku sebagai benda ke anak-anak sejak bayi?
Hanya satu, yaitu buku rusak, itu saja. Ada yang geripis, sobek, hingga halaman isi terlipat. Termasuk jika bacaan itu adalah majalah, sampulnya dapat dipastikan akan segera copot dan sobek. Saya kira yang demikian tidak ada masalah. Bukankah lebih baik buku dan majalah rusak karena dibaca, ketimbang masih mulus lantaran tidak pernah disentuh?
Pemberian pengalaman pra-membaca melalui pengenalan fisik buku pun minimal telah menghilangkan halangan psikologis anak untuk dekat dan mengenal lebih akrab isinya. Karena jika mendekatinya saja tidak mau, takut, khawatir, ragu-ragu, bagaimana mungkin mereka mau membacanya?! *Agus M. Irkham, pegiat literasi