”Anak kelas 5 SD yang baru berumur 12 tahun jadi PSK online. Itu terjadi di Bandung. Bagaimana itu bisa terjadi?” ungkap Dr. Hj Yeni Huriyani, M.Hum, Kadiv Pendidikan Forhati Nasional.
Fakta memilukan itu diungkap Yeni saat menjadi pembicara Seminar Pendidikan Literasi Media Sosial dalam Keluarga di Ruang Pola Balaikota DKI Jakarta, Sabtu, 22 September 2018. Makin mengerikan ketika orangtuanya tidak mengetahui.
Menurut Yeni, salah satu pemicu terjadinya peristiwa ini adalah adanya kesenjangan antara orangtua dengan anak. Orangtua tidak mengetahui apa saja yang dilakukan anaknya melalui media sosial. Orangtua tidak pernah mengetahui apa saja isi gadget milik anaknya.
Kesenjangan dipicu oleh tiadanya komunikasi yang baik antara orangtua dengan anak. Ketika ingin mengetahui sesuatu, anak memilih ’bertanya’ kepada internet.
”Padahal tidak semua informasi yang muncul dari pencarian di internet baik untuk anak-anak yang secara mental belum siap. Seperti ketika ingin mengetahui tentang menstruasi, saat googling munculnya macam-macam artikel dan gambar yang tidak layak untuk anak,” ungkap Yeni.
Semua itu, menurut Yeni, terjadi karena adanya disorietasi keluarga. Orangtua mengalihkan pengasuhan dan pendidikan kepada orang lain. Terjadi hambatan interaksi dan komunikasi serta kegagalan dalam memenuhi hak dasar anak.
Untuk itulah dibutuhkan penyadaran untuk mengembalikan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Yaitu kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta memiliki kemampuan fisik meteriil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri serta keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir-batin.
Senada, Aria A. Mangunwibawa dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga Kementerian Pendidian dan Kebudayaan RI mengingatkan adanya kesenjangan generasi antara orangtua dan anak. Saat ini kebanyakan orangtua berasal dari generasi Y, sedang anak berasal dari generasi Z.
Untuk menjembataninya, menurut Aria, orangtua harus meningkatkan pengetahuan tentang perkembangan teknologi, terutama media sosial. ”Orangtua juga harus terlibat dan mengawasi kegiatan anak di media sosial maupun internet. Selalu aktif dalam memberikan pengertian, pembatasan dalam pemanfaatan inetrnet dan media sosial,” terangnya.
Dalam mendampingi anak-anaknya saat menggunakan media sosial, Aria menyarankan kepada para orangtua untuk memastian kesiapan mental, pengetahuan, dan tanggung jawab saat anak mulai menggunakan media sosial. ”Buat kesepakatan dengan anak dalam menggunakan media sosial, awasi dan dampingi aktivitas anak di media sosial,” katanya.
”Orangtua sebaiknya mengetahui password telepon pintar media sosial anak, mempelajari fitur keamanan akses anak (parental control), dan jangan lupa untuk memberikan teladan dalam penggunaan media sosial yang bijak,” tambah Aria.
Sementara pembicara lain, Slamet Santoso dari Kementerian Kominfo RI mengingatkan, beberapa kasus orang yang terjerat persoalan hukum, seperti ujian kebencian, karena salah dalam menggunakan internet. Terutama di media sosial.
”Nitizen beranggapan dunia siber berbeda dengan dunia nyata. Padahal menurut hukum sama saja. Ada banyak aturan yang harus dipatuhi,” tandas Slamet.
Slamet juga mengingatkan adanya jejak digital yang tidak terhapus. Apa yang kita lakukan di internet tercatat dalam server penyelenggara sistem elektronik. ”Untuk itulah kita harus bijak, kreatif dan produktif dalam menggunakan internet,” katanya.
Menurut Slamet, setidaknya ada 4 cara yang bisa dilakukan agar salah dalam menggunakan internet:
Pertama, Memahami aturan dan hukum yang terkait internet, utamanya UU ITE
Kedua, Memahami batasan usia pengguna media sosial. Mislanya facebook minimal 13 tahun, twitter minimal berusia 15 tahun, YouTube minimal berusia 13 tahun dan seterusnya.
Ketiga, Berhati-hati dan bijak saat mengunggah status. Jangan sembarangan, apalagi bila menyangkut pihak lain
Keempat, Saring sebelum sharing informasi di internet. Memastikan kebenarannya dan mempertimbangkan manfaatnya bila menyebarkan ulang.
Sementara pembicara terakhir, Awalil Rizky, orangtua yang keempat anaknya juara olimpiade sains, mengingatkan para orangtua untuk kembali, untuk apa mengenalkan internet kepada anak? Karena niat awal ini menentukan apa yang terjadi di kemudian hari.
”Kalau kita mengenalkan internet kepada sebagai sarana belajar maka anak akan memahaminya seperti itu. Berbeda kalau kita mengenalkannya sebagai alat hiburan semata atau bahkan alat pengendali anak, maka selamanya anak akan memahami dan menggunakannya akan secara berbeda,” jelas Awalil.
Oleh karena itu Awalil mengajak para orangtua untuk tak melupakan prinsip pendidikan keluarga, yaitu keteladanan, kejujuran, keterbukaan, pembelajaran, dan pembiasaan. (Penulis: Hanik Purwanto; Fotografer: Hanik Purwanto)
Download disini