Mengenal anak sejak dini menjadi sesuatu yang penting dalam proses mendidik anak. Dekat dengannya adalah salah satu syarat untuk mereka bisa terbuka kepada kita, bercerita tentang apa yang mereka alami dan rasakan tanpa adanya rasa rikuh kepada kita sebagai orang tua.
Karena tak jarang anak usia remaja menjaga jarak, terutama privasinya tentang aktifitas sehari-hari yang mereka anggap penting, namun justru berdampak besar bagi masa depan mereka.
Menjelang masa remaja awal (13-16 tahun), anak-anak akan mengalami kondisi di mana kehidupan terasa bebas, rasa penasaran yang tinggi terhadap hal-hal baru, meningkatnya fungsi seksualitas dan dorongan emosi yang tidak stabil (Syamsu Yusuf, 2011:204-205). Terhadap hal tersebut, peran orang tua menjadi sangat penting terutama sebagai agent of control bagi perilaku mereka.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk menyikapi anak yang menjelang masa remaja awal, yaitu:
1. Menjalin komunikasi dua arah
Sebagai orang tua, kita tidak selamanya tahu apa yang anak inginkan dan lakukan pada pergaulannya. Apalagi sebagai remaja awal (adolescence) yang memiliki banyak keinginan. Namun kita tidak usah hawatir tentang hal tersebut, menjalin komunikasi dua arah adalah solusi terbaik untuk mengetahui sebagian besar hal tentang mereka.
Berilah kesempatan buat mereka untuk bercerita dan mencurahkan isi hatinya, karena remaja cenderung suka bercerita dibanding mendengarkan. Nah. setelah mereka bercerita, kita sebagai pendengar bisa sedikit demi sedikit memberikan masukan dengan nada bercerita pula. Hal itu agar mereka tidak merasa seperti dihakimi atau dinasihati.
2. Bekerja sama dengan guru
Bagi orang tua yang mempunyai sedikit waktu untuk bisa berkomunikasi intensif dengan anak, guru di sekolahan menjadi solusi. Artinya orang tua bisa memberikan otoritas kepada sekolah untuk bisa mendidik dan mengarahkan anaknya dengan kesepakatan tertentu. Dengan adanya kesepakatan antara orang tua dan guru, maka pihak sekolah atau guru akan lebih leluasa untuk mengatur dan mengontrol perilaku si anak remaja.
3. Menghilangkan persepsi “pacaran adalah penyemangat belajar”
Maraknya perilaku pacaran berlebihan di kalangan pelajar seringkali karena alasan, “pacaran adalah penyemangat belajar”. Sebenarnya itu suatu pembohongan kepada publik, karena tidak ada sejarah yang mengatakan “pelajar sukses berkat pacaran di sekolah”, mungkin yang relevan adalah “pelajar stress berkat pacaran di sekolah”.
Mengapa demikian? Pacaran di sekolah bukannya membuat semangat si anak, hal itu malah justru akan membuat mereka tidak fokus pelajaran karena terlalu memikirkan si pacar. Apalagi jika keduanya pada suatu saat memutuskan hubungan, semua bisa menjadi berantakan.
4. Memperkenalkan anak pada ajaran, norma dan nilai agama
Memperkenalkan norma dan nilai agama menjadi hal penting dalam membentengi remaja dari pergaulan yang melampaui batas. Sebab dalam agama, ada batasan-batasan yang mengatur bagaimana etika bergaul dan bersosialisasi dengan orang lain, terutama lawan jenis.
Memperkenalkan anak pada ajaran agama dapat memberikan kesibukan positif bagi mereka seperti rajin salat, mengaji dan berorganisasi sosial keagamaan. Sedangkan memperkenalkan mereka pada norma dan nilai agama dapat membatasi mereka dalam berperilaku.
5. Mengawasi mereka dalam penggunaan telepon pintar, tablet dan menonton televisi.
Maraknya acara televise yang tidak mendidik menjadi tantangan besar bagi orang tua. Ditambah lagi dengan kemudahan akses dunia maya yang memberikan peluang besar bagi para remaja untuk melakukan hal positif maupun Sudah tidak mungkin lagi bagi remaja yang mempunyai alat komunikasi canggih (smartphone) untuk tidak melihat content dewasa yang seharusnya bukan konsumsi mereka.
Bahkan tanpa harus dicari, tawaran-tawaran tentang konten-konten dewasa sudah banyak bertebaran. Hal tersebut menjadi kewajiban tambahan orang tua untuk selalu bisa memberikan pengawasan bagi anak remaja mereka (termasuk mengecek penggunaan media sosial), terutama tentang apa yang mereka tonton dan komunikasikan dengan orang lain di dunia maya.
Dengan hal-hal tersebut diharapkan orang tua akan lebih bisa mengarahkan anak remaja mereka. Remaja-remaja sekarang adalah calon pemimpin masa depan bangsa kita. Maka sudah menjadi tugas kita bersama untuk bisa membekali mereka dengan hal-hal positif dan pendampingan yang cukup, seiring dengan arus globalisasi yang memudahkan segala hal untuk dilakukan. (Agus Alwi Eko Arifianto, guru Bahasa Inggris SMP Nurul Islam Semarang dan mahasiswa Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam UIN Walisongo Semarang)