(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Perlunya Kebersamaan untuk Cerdaskan Anak

Admin disdikpora | 20 November 2018 | 720 kali

Sejak keponakan saya, Jovita, berumur dua tahun, saya suka mengajaknya berjalan-jalan. Ia senang sekali bila diajak naik sepeda motor atau berjalan kaki mengelilingi komplek perumahan. Dengan ceria ia menyapa bebek, kucing, ayam, kupu-kupu, burung -segala hewan yang tampak di depannya. Walaupun bahasanya tidak jelas, ia suka bicara.

Selain berjalan-jalan, keponakan saya suka sekali bila mendengar cerita dari buku Kancil Milenium Baru yang ditulis Witarsa (Penerbit Yrama Widya, 2016). Di buku itu ada beberapa cerita dengan tokoh kancil yang menjalin persahabatan dengan hewan-hewan lain. Cerita yang paling disukai Jovita adalah tentang gajah-gajah yang menyelamatkan kancil yang masuk ke dalam sumur.

Sambil bercerita, kadang saya menambahi, ”Gajah itu baik lho, dia mau menolong kancil.”

Dia pun mengelus-elus gambar gajah di buku itu, dan kadang berkata, ”Aku sayang gajah. Aku mau jadi kawan gajah!”

Menikmati Kebersamaan

Membacakan buku dan mengajak berjalan-jalan adalah dua hal yang sering saya lakukan bersama keponakan. Itu cara yang dapat dilakukan untuk membuat anak tidak ketagihan bermain ponsel.

Anak-anak zaman sekarang mudah kecanduan bermain ponsel karena tidak ada orang dewasa yang mengajak atau mendampingi mereka melakukan aktivitas-aktivitas yang menyenangkan. Dan sebuah aktivitas bisa jadi tampak menyenangkan di mata anak bila orang dewasa tampak antuasias juga ketika melakukannya.

Masalahnya, orang-orang dewasa sering menganggap anak-anak kurang penting. Anak-anak, karena mungkin tidak bisa berpikir seperti orang dewasa, tidak memberikan keuntungan finansial, atau terlalu suka bertanya, akhirnya pun diabaikan. Padahal anak-anak suka bila didengar, bahkan dilibatkan dalam tugas-tugas yang sederhana.

Di mata banyak orangtua, anak-anak pun cenderung dianggap merepotkan. Beberapa orangtua malah tampaknya menganggap kehadiran anaknya sebagai beban. Waktu baru lahir disayang-sayang karena imut atau menggemaskan, tapi saat bersekolah dijewer-jewer karena nilai-nilainya jelek atau membuat onar.

Dulu saya pernah mengajar di sebuah sekolah di mana para guru dibiasakan untuk menuliskan catatan di buku agenda siswa bila seorang siswa berbuat onar selama di sekolah, selain bila ada pemberitahuan atau tugas-tugas dari sekolah. Tujuannya agar siswa dapat dinasihati lebih lanjut di rumah oleh para orangtua. Suatu ketika, seorang siswa membuat ulah.

Saya pun mengambil agendanya, hendak menuliskan sesuatu. Saat itulah siswa tersebut malah menangis, lalu berkata sambil terisak, ”Pak, kalau masalah itu ditulis di agenda, saya akan tambah dimarahi. Bahkan, kadang saya dipukul.” Dia juga menceritakan kalau orangtuanya tidak peduli dengan apa pun alasan ia berbuat nakal. Ia sudah terlanjur dicap nakal -selalu nakal.

Padahal, tak semua anak selalu nakal. Kadang mereka perlu dilibatkan dan diberi tugas-tugas ringan. Mengajak anak memberi makan hewan peliharaan, mengajarinya mengocok telur sebelum didadar, atau bersama-sama dengannya menyiram tanaman adalah bentuk-bentuk pelibatan yang tampak sederhana, tapi dapat berakibat besar. Dengan kegiatan-kegiatan seperti itu anak akan merasa bahwa kehadirannya berarti.

Mungkin Anda pernah mendengar kisah Soichiro Honda, pendiri Honda. Kesukaannya mengutak-atik mesin berasal dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian di Dusun Kamyo, Jepang Tengah, tempat kelahirannya. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi, melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya. Di bengkel itu, ayahnya memberi alat untuk mencabut paku kepadanya. Honda dilibatkan, walaupun tugas-tugasnya sederhana. Tapi dari situlah antuasiasme ayahnya dalam dunia permesinan menular kepadanya.

Bukan Pemadam Kebakaran

Menularkan semangat hidup dan nilai-nilai penting dalam kehidupan seorang anak tak selalu mudah. Dalam sebuah ceramah tentang pendidikan, saya mendengar sebuah pernyataan menarik: ”Guru bukan seperti pemadam kebakaran.” Hal yang sama juga berlaku untuk para orangtua. Kemudian, pemateri menguraikan bahwa pemadam kebakaran akan datang hanya bila kebakaran terjadi. Tak ada kebakaran, tak ada bunyi sirene mobil mereka yang bising. Tak ada kebakaran, mungkin para pemadam kebakaran santai kerjanya, ongkang-ongkang kaki di kantor.

Seringkali, guru dan orangtua hanya akan berinteraksi dengan anak bila sesuatu yang menyita perhatian -seperti kebakaran- terjadi. Masalah terjadi, hukuman diberikan. Atau, bisa juga dalam hal positif: prestasi dicapai, hadiah diberikan. Ya, rasa-rasanya, hanya sesuatu yang fatal atau fantastis yang terjadi pada diri anak yang menarik minat kita untuk berinteraksi dengannya.

Itulah cara berhubungan yang keliru. Anak-anak perlu pendampingan bagi setiap proses memanusia. Hukuman atau hadiah tidak cukup bagi seorang anak. Ketika mereka tidak mencapai sesuatu yang fantastis, mereka akan menganggap diri mereka bukan siapa-siapa karena tak menerima hadiah. Ketika mereka lebih sering dihukum karena sering berbuat salah, mereka tidak tahu bagaimana cara melakukan sesuatu yang benar.

PBB menetapkan 20 November sebagai Hari Anak Sedunia dengan tujuan agar anak-anak di seluruh dunia mendapatkan perlakuan yang baik dari orang dewasa. Hak-hak mereka dipenuhi, kebahagiaan pun dapat mereka rasakan.

Ayah dan ibu yang hebat di mata orang-orang lain bisa jadi kaya atau populer, namun apakah artinya bila tidak penyayang dan mau memberikan waktu serta perhatian bagi anak-anaknya? Anak-anak mungkin ada di dekat kita, sering kita jumpai, tapi dalam keseharian kita tak merasakan semangat kebersamaan. Mungkin kita lebih sibuk dengan diri sendiri, tidak peduli, lupa untuk saling bertanya apalagi berbagi cerita.

Padahal kita perlu mendengar dan berbagi bersama dengan anak-anak. Itulah jalan bagi terciptanya rasa aman dalam diri anak-anak, sekaligus kesempatan untuk membuat mereka bersemangat mempelajari apa saja yang berguna untuk hari depan. (Sidik Nugroho - Penulis dan guru di Pontianak, Kalimantan Barat)