Setiap hari, berbagai produk gawai (gadget) baru bermunculan. Memang gawai sudah tidak lagi menjadi kebutuhan tersier atau sekunder, melainkan sudah menjadi kebutuhan primer mulai dari orang tua sampai anak-anak.
Yang disayangkan, banyak orang tua yang bangga apabila anak-anak mereka sedari kecil sudah memegang gawai. Alasannya pun begitu beragam, mulai dari gengsi, agar mudah dihubungi, agar anak diam di rumah dan tidak bermain, dan berbagai macam alasan lainnya. Dan realitas ini dapat kita lihat sehari-hari.
Dampak penggunaan gawai sedari kecil memang belum terlihat, tapi pasti akan berdampak saat anak-anak tersebut dewasa. Bayangkan saja, ketika anak-anak bermain game di gawai berjam-jam di rumah. Itu artinya anak telah kehilangan banyak waktu bermain mereka bersama teman-temannya di luar rumah.
Anak cenderung suka menyendiri dengan gawainya dan merasa dunianya ya di gawai. Imbas ketika mereka dewasa adalah mereka bisa menjadi manusia-manusia yang pikirannya hidup dalam dunia maya, individual dan egois karena jarang berinteraksi dengan orang lain.
Kesadaran akan dampak buruk membiarkan anak berjam-jam dengan gawainya harus segara dihadirkan. Orang tua harus bijak dalam menghadapi fenomena ini. Paling tidak untuk meminimalisir dampak buruk yang akan terjadi, yaitu dengan cara orang tua harus membatasi waktu anak dalam bermain gawai dan mencarikan alternatif solusi permainan yang bisa dimainkan anak.
Salah satu alternatif solusi yang bisa digunakan oleh orang tua adalah dengan menggunakan permainan tradisional. Permainan yang diwariskan dan turun-temurun dari nenek moyang kita ternyata mengandung muatan karakter positif, yaitu karakter sosial.
Permainan tradisional bisa meningkatkan karakter sosial karena permainan tradisional biasanya dimainkan oleh banyak anak yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial. Beberapa contoh permainan tradisional yang bisa anak mainkan antara lain: kucing-kucingan, ajang-ajangan, congklak, dan sebagainya.
Kucing-kucingan merupakan permainan yang bisa dimainkan oleh tiga anak atau lebih. Satu anak bertugas sebagai kucing dan yang lainnya bersembunyi. Permainan yang dimulai dari hompimpa ini akan menentukan siapa yang berjaga atau menjadi kucing.
Anak yang menjadi kucing akan menutup mata dan menghitung angka 1-10. Lalu anak yang lain berlarian mencari tempat persembunyian. Setelah selesai menutup mata, tugas kucing mencari anak yang bersembunyi. Biasanya kucing akan mengejar mangsanya (anak yang bersembunyi). Mangsa yang pertama kali ditemukan akan bergantian menjadi kucing setelah semua anak ditemukan.
Selain itu, ada permainan ajang-ajangan yaitu permainan bermain peran antar anak. Misal anak ingin bermain pasar-pasaran. Ada anak yang bertugas menjadi penjual sayur, ada yang menjual buah, dan ada yang menjadi pembeli. Anak-anak menggunakan benda-benda di sekitar yang mudah dijangkau sebagai media permainan. Anak-anak akan bermain peran selayaknya orang dewasa yang ada di pasar.
Berbagai permainan tersebut dapat melatih anak bekerjasama, menyesuaikan diri, melatih anak dalam berinteraksi, melatih anak mengontrol diri, melatih anak berempati, melatih anak menaati aturan dan melatih anak menghargai orang lain. Jadi, permainan tradisonal bisa menjadi solusi alternatif bagi para orang tua untuk memalingkan anak mereka dari gawai. (Feny Nida Fitriyani, mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)