Setiap orang tua pasti merasa senang dan bahagia memiliki buah hati yang lucu, sehat dan pintar. Apalagi di masa tumbuh kembangnya, si anak memperlihatkan kecerdasan dan kemandiriannya dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Misal, si anak sudah makan sendiri tanpa disuapi, bisa mewarnai gambar dan menulis, mampu ke toilet sendiri tanpa bantuan orang tua ataupun pengasuh, dan masih banyak hal lainnya yang membuat orang tua bangga.
Kalau sudah begitu, rasa bangga biasanya diwujudkan dengan mengabadikan momen tersebut, yaitu memfotonya dan ada juga yang merekamnya untuk dokumen pribadi maupun membagikannya di media sosial.
Menurut psikolog dari Universitas Indonesia Rosana Dewi Yunita, tiap orang tua memiliki tujuan berbeda-beda dan terkadang mempunyai alasan individual dalam mengunggah foto anak ke media sosial. Mengunggah foto ke media sosial dianggap sebagai cara menyimpan kenangan, sumber inspirasi, berbagi pengalaman emosional yang mendekatkan satu orang dengan yang lain.
Ada beberapa efek positif untuk anak apabila orang-tuanya menggunggah foto mereka di media sosial. Si anak akan memiliki kenangan yang dapat semakin mendekatkan perasaan atau emosi, menumbuhkan perkembangan identitas diri dari suatu bagian kelompok sosial (keluarga) serta dapat menumbuhkan perasaan dihargai, diapresiasi atas usaha dan learning process yang dilakukan.
Namun demikian, siapapun harus menyadari betul foto-foto maupun video rekaman seperti apa yang baik untuk dibagikan di media sosial. Jangan sampai alih-alih ingin membagi cerita, tapi malah berakibat buruk di kemudian hari. Seperti contoh, membagikan video rekaman anak berusia di bawah lima tahun yang sedang mandi, di Facebook. Contoh lain, di sebuah akun Instagram pernah muncul sebuah foto yang menampilkan anak perempuan usia di bawah lima tahun sedang duduk di toilet. Di foto tersebut, kelihatan jelas bagian pribadinya serta wajah si anak.
Mungkin niat orang tua hanya ingin menyampaikan pada ayah si anak, keluarga maupun teman-temannya di media sosial bahwa anaknya sudah mandiri. Atau bahkan untuk sekadar “lucu-lucuan” saja. Namun hal seperti ini berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari. Seperti, kelak anak bisa melihat foto dan video seperti ini saat mereka besar. Tentu akan membuat mereka malu atau bahkan berpotensi memicu tindakan perundungan (bullying). Tak hanya itu, di media sosial, siapa saja dan dari mana saja bisa melihat apa yang kita bagikan, dengan berbagai cara.
Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk mengunggah foto anak-anak ke media sosial, orang tua harus memperhatikan beberapa hal penting berikut ini:
1. Maksud dan tujuan mengunggah foto. Orang tua harus tahu maksud dan tujuan mengunggah foto. Pikirkan juga tentang efek positif dari pengunggahan foto anak untuk pihak penerima, kita sebagai orang tua dan anak, pada khususnya.
2. Isi foto yang diunggah. Foto yang menunjukkan anak tidak berpakaian atau menunjukkan bagian pribadi anak, misalnya saat mandi, atau saat mengenakan pakaian tidur, sebaiknya tidak untuk diunggah. Sebab, isi seperti ini dapat mencederai perasaan anak, selain juga dapat menjadi sumber perundungan atau olok-olok terhadap anak.
Sebaiknya pengarahan rekayasa isi perlu ditujukan ke sesuatu yang lebih positif. Misal, foto atau video saat anak terjatuh ketika belajar sepeda. “Selain kelucuannya, framing konten sikap anak yang tetap berani belajar atau sikap empati orang tua perlu lebih ditunjukkan. Konten foto positif tentunya akan lebih dapat menimbulkan efek positif bagi yang melihat dan terutama buat anak kita,” kata pendiri Schema Psikologi tersebut.
Selain itu, perlu diperhatikan juga teman anak (anak lain) yang kebetulan bersamanya. Orang tua juga perlu mempertimbangkan kenyamanan anak lain dan orang tua anak tersebut. Karena tidak semua orang tua akan menyetujui foto anaknya dipublikasikan di media sosial, apalagi tanpa sepengetahuan mereka.
3. Pihak penerima dan pengakses foto di media sosial. Orang tua perlu memastikan siapa saja yang dapat melihat atau mengakses foto anak sesuai dengan media sosial yang digunakan. “Semakin luas akses media yang digunakan, kehati-hatian orang tua semakin diperlukan, karena risiko tereksposnya foto anak untuk keperluan yang membahayakan anak semakin besar,” kata Rosana Dewi Yunita.
Banyak kasus penggunaan ilegal foto anak, misalnya untuk perundungan mayantara (cyberbullying) dan pornografi, karena ketidakpahaman orang tua atas media yang digunakan. Secara umum, panduan orang tua untuk memutuskan membagi foto anak adalah pertimbangan perasaan anak atas unggahan foto mereka dalam media sosial. Untuk anak yang sudah dapat diajak berkomunikasi, kita perlu dan bisa mengajak diskusi dan meminta masukan dari anak tentang foto mereka yang akan kita unggah di media sosial.
Hal tersebut, kata Rosana Dewi Yunita, selain memberikan penghargaan atas pendapat dan sudut pandang anak, juga bagian dari melatih dan mendidik anak dalam mengambil keputusan untuk mengunggah sesuatu ke media sosial. Di mana ada kemungkinan pihak lain di luar diri anak dan orang tua yang akan mempunyai opini dan pandangan yang berbeda. “Anak pun akan hati-hati ketika ia akan memposting sesuatu yang misalnya berkaitan dengan dirinya pribadi atau temannya ke media sosial.”
Jadi, ada baiknya bahwa orang tua harus lebih bijak dalam mengunggah foto maupun video anak-anak mereka di media sosial. (Lusi C. Mahgriefie, peminat masalah pendidikan)
Sumber : http://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4027Rambu-rambu