Seorang ibu mengeluhkan anak remajanya yang kerap menimbulkan masalah di luar rumah, seperti melanggar aturan sekolah, aturan lalu-lintas dan aturan-aturan umum lainnya. Ia juga tak jarang membullyteman-temannya sehingga suatu waktu orang tua temannya itu mengadukannya.
Apa yang salah dengan Ibu itu? Menurut AN Ubaedy, seorang penulis, fasilitator, pengajar motivasi dan praktisi pengembangan sumber daya manusia, semua perilaku seorang remaja bisa ditelusuri di keluarganya, tepatnya, pola asuh seperti apa yang diterapkan orang tuanya.
Apakah orang tua memahamkan anak-anak yang berusia antara kelas nol besar sampai kelas tiga SD tentang aturan hidup yang berlaku di luar rumah? Sebut saja misalnya di sekolah atau di tempat umum.
Kita perlu menelaah kembali pola asuh yang selama ini kita terapkan. Menurut Ubaedy, dari sejumlah kasus yang umum terjadi, pola asuh yang kerap menciptakan problem pada prilaku anak remaja adalah pola asuh yang ekstrim, entah ekstrim kerasnya atau ekstrim lunaknya.
Dalam psikologi, yang ekstrim kerasnya ini biasa disebut dengan authoritarian (otoritarian). Dalam pola asuh ini, orang tua ingin membentuk anak se-ideal yang ia inginkan dengan kontrol yang ketat.
Menurut Ubaedy, menghadapi orang tua dengan pola asuh otoritarian seperti itu, si anak akan bereaksi dengan mencari kebebasan di luar.
Sebaliknya dengan pola asuh yang ekstrim lunaknya itu biasa disebut dengan permisif. Dalam pola asuh permisif ini, orang tua berlaku sebaliknya, yakni membiarkan anak berkembang sendiri, apa-apa boleh, tidak mau melarang anak karena tidak mau ada percekcokan dan ketegangan. Posisi orangtua di sini sebagai pihak yang ”meng-iya-kan” apa saja yang dikonsultasikan anak.
Nah, dikatakan Ubaedy, anak yang di rumahnya mendapatkan pola asuh permisif secara dominan, akan menganggap semua tempat di luar rumahnya seperti di rumahnya sendiri. Pola asuh ini membangun persepsi bahwa hidup ini bebas-bebas aja.
Menurut Ubaedy, ada jalan tengah antara kedua pola asuh ekstrim tersebut. Jalan tengah dalam pola asuh itu disebutnya dengan poal asuh authoritative (otoritatif). Dalam pola asuh itu, orang tua tetap memberikan patokan, pedoman, dan arahan yang kuat dan tegas, namun tetap memberi ruang bagi anak-anak untuk kebebasan berkreasi, menumbuhkan kemandirian, dan rasa bertanggung jawab.
Hal ini bisa dilakukan dari mulai yang paling terkecil, misalnya saja, latihan merapikan barang mainan yang sudah ia acak-acak. Di sini, orang tua harus tegas bahwa mainan yang sudah diacak-acak itu harus dirapikan lagi. Namun soal caranya dan tehniknya bagaimana, Orang tua perlu memberikan kesempatan berkreasi.
Jika anak sudah terbiasa memahami kebebasan dan batasan di rumah sendiri, dia akan cepat menemukan referensi atau bahan menilai keadaan ketika berada di luar rumah. Namun diakui Ubaedy, menerapkan pola asuh yang otoritatif ini memang tidak sesimpel menerapan yang permisif atau yang otoritarian. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoritatif membutuhkan berpikir kreatif, butuh kesabaran dan butuh kepedulian. Yanuar Jatnika