”Anin, kamu pacarnya Rizal, ya?” ledek Luna, anak yang masih duduk di bangku PAUD. Anin pun mengangguk tersenyum malu. ”Kamu juga suka sama Andi, ya? Kemarin main bareng, kan?” tanya Anin tak mau kalah.
Fenomena seperti di atas seringkali kita jumpai, bahkan terjadi di sekitar kita. Anak-anak usia PAUD hari ini, baik disadari maupun tidak telah terkontaminasi dengan pengertian dan praktik cinta yang salah, khususnya pada aspek hubungan lawan jenis. Bahkan anak PAUD saat ini sudah bisa mengatakan kata pacar. Sekalipun logikanya belum bisa memahami definisi pacar yang sesungguhnya. Namun lebih dari sekadar kata, anak-anak balita ini juga memberi perhatian khusus kepada teman yang diakuinya sebagai pacar.
Seorang ibu pernah bercerita kepada saya, suatu hari anak putrinya terlihat cukup sibuk dan gugup mempersiapkan sesuatu yang akan dibawa ke sekolah. Setelah diteliti, ternyata ada dua bungkus kue dan dua buah teh gelas. Keesokan harinya, sang ibu bertanya kepada anaknya. ”Nak, kenapa kemarin ada kue dan teh gelas agak banyak?” Sang anak menjawab dengan polosnya. ”Itu kan untuk pacar aku di sekolah, Ma. Dia itu anaknya baik, suka ngasih es krim juga ke aku. Teman-teman bilang dia itu pacarku,” jelasnya. Melihat kejadian itu, mungkin ada beragam pandangan terhadap kasus tersebut. Tetapi yang namanya anak, meskipun secara perkembangan usia, akalnya belum mampu bekerja secara dewasa, tetapi memori dan perasaannya sudah mulai aktif. Kita tidak bisa bayangkan, jika suatu saat dia dewasa dan menikah, kemudian menganggap masa sekolah dengan pacarnya itu dianggap sebagai masa paling indah.
Hal ini merupakan sebuah kekeliruan. Belum lagi kalau kemudian ada kemungkinan yang mengarah hubungan masa kecil itu bersemi kala dewasa. Sementara satu di antaranya telah berumah tangga. Jelas ini bahaya. Mungkin, ini terlalu jauh. Tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa memori kebanyakan orang bersama pacar adalah memori yang sulit dilupakan. Untuk itu, tugas orangtua tidak cukup pada soal anak berangkat sekolah atau tidak. Tetapi lebih jauh harus memantau pergaulan anak-anaknya, meskipun masih usia TK atau balita. Karena, pada masa tersebut, memori sudah aktif dan perasaan juga sudah bekerja.
Terutama ibu, sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya dituntut untuk menjalaninya sebagai sosok seorang ibu yang pinter (cerdas), pener (bisa aplikaskan ilmu dengan metode yang tepat), dan kober (mempunyai cukup waktu mendidik anak). Kasus lain cukup menggelikan, tetapi ini berdampak serius terhadap pemahaman anak. Suatu saat di senja hari, anak-anak bermain bersama teman sebayanya. Seorang ibu melihat tanpa sengaja, putrinya berpelukan dengan anak tetangga yang laki-laki. Usai makan malam, sang ibu bertanya. ”Kenapa tadi mainnya kok pakai ciuman dan pelukan segala?” Anaknya dengan santai menjawab, ”Itu kasih sayang, Ma. Aku sayang sama teman-temanku.” Tentu ini satu peristiwa yang boleh jadi kasuistik. Tetapi kalau dinalar secara sederhana saja, pemahaman dan praktik cinta yang salah ini memang merebak dimana-mana, terutama di televisi.
Berbagai tayangan film, sinetron, termasuk iklan produk, bahkan kini juga masuk dalam dunia komedi, secara perlahan namun pasti semua itu merasuki otak anak. Maka di sini, para orangtua mesti waspada. Pepatah mengatakan, kebakaran besar terjadi berawal dari percikan api yang kecil, namun tidak disadari dan dibiarkan. Lantas bagaimana kita memahamkan masalah cinta dan kasih kepada anak-anak? Agama telah memberikan panduan jelas tentang hal ini..
Pertama
Orangtua harus mengenalkan kepada anak-anaknya perihal jenis kelamin. Anak harus tahu bahwa dirinya perempuan atau laki-laki. Setelah itu, masuk satu penjelasan bahwa seorang dilarang berciuman atau berpelukan dengan temannya atas nama cinta.
Kedua
Anak diarahkan untuk memahami apa itu cinta dan kasih sayang. Perasaan cinta dan kasih sayang adalah sebuah ungkapan hati manusia untuk mencintai dan menyayangi segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Setiap manusia memiliki perasaan kasih sayang dalam hatinya. Berciuman dan berpelukan itu barangkali diidentikkan dengan tanda cinta dan kasih sayang. Tetapi itu hanya berlaku dalam keluarga, anak kepada ayah, atau ayah kepada ibu. Ciuman dan pelukan itu tidak berarti cinta dan kasih anak-anak dengan teman-teman khususnya. Pengertian ini mungkin dianggap terlalu berlebihan, tetapi ini harus masuk dalam sistem kesadaran anak-anak kita sendiri.
Ketiga
ajarkan prinsip bergaul yang sehat. Cara bergaul yang sehat akan menuntun anak untuk bisa memilah dan memilih mana yang menjadi standar bergaul yang bermoral. Anak akan dapat berusaha menjaga diri dari sesuatu yang berbahaya dan merugikan dirinya. Di sinilah pentingnya orangtua mengajarkan prinsip bergaul yang sehat. Tidak lagi perlu mengekang anak untuk bergaul dengan si ini dan si itu. Sebab dengan prinsip tersebut anak sudah bisa menjaga diri dengan baik. (Mukhamad Hamid Samiaji – Pengamat dan Penikmat Kopi).