Banyak orangtua terkadang tidak sadar sering mengajarkan tentang berandai-andai kepada anak-anaknya. Seperti dengan mengucapkan kata ”seandainya, andai saja, kalau saja.”
Ucapan ini muncul biasanya dikarenakan adanya sebuah angan-angan yang tidak tercapai. Sehingga ada keinginan untuk menghibur diri atas kekecewaan dari sebuah kegagalan, ataupun adanya pola didik yang keliru pada masa lalu.
Misalnya: ”Andai saja kamu lebih rajin belajar, pasti kamu akan jadi juara.” Bisa juga: ”Kalau saja kamu nurut sama mama, pasti kamu tidak akan jatuh.”
Sekilas kalimat pengandaian tersebut berisikan tentang nasihat kepada anak dan mempunyai maksud yang baik. Tapi, benarkah kalimat pengandaian itu efektif digunakan untuk membuat anak menjadi lebih baik?
Belum tentu! Yang terjadi bisa saja sebaliknya. Ketahuilah, sesungguhnya kalimat pengandaian lebih banyak berkonotasi menyalahkan. Dalam posisi seperti ini, anak merasa dianggap tidak pernah benar dan tidak pernah dianggap baik.
Padahal, tidak ada yang pernah salah dengan perbuatan yang dilakukan oleh anak. Yang ada hanyalah tindakan yang kurang tepat.
Kenapa mesti begitu? Karena sesungguhnya anak masih belum tahu mana yang salah dan benar, sementara daya jelajahnya sangat tinggi . Ia membutuhkan fase Trial and error atau Coba dan gagal. Semakin sering anak merasakan fase ini, maka anak akan menjadi pribadi yang mandiri, tidak mudah mengeluh, dan tidak mudah putus asa. Sebaliknya, proses ini tidak akan pernah terjadi bila anak sering disalahkan secara tidak langsung lewat kalimat-kalimat pengandaian.
Apabila kesalahan ini tidak segera kita sadari dan ubah, bukan tidak kemungkinan besar anak akan mengalami beberapa perkembangan yang negatif, seperti:
Rendah diri
Anak yang sering mendengarkan kata atau kalimat pengandaian akan merasa bahwa tidak termotivasi. ”Andai kamu rajin belajar, pasti akan jadi juara kelas.” Kalimat tersebut akan memberikan gambaran kepada anak bahwa kenyataannya ia bukanlah seorang juara. Efeknya, ia akan merasa lemah (pecundang) dan menjadi rendah diri. Anak yang rendah diri akan merasa bahwa tingkah lakunya lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Apabila perasaan ini tidak bisa diatasi, ia akan menjadi takut, curiga, dan ragu-ragu dalam bertindak. Akibatnya, ia akan menghindar untuk berhubungan dengan orang lain.
Bergantung Orang Lain
Anak akan tergantung, akan selalu mencari bantuan, dan perhatian dari orang lain. Hal ini terjadi karena ia hanya tahu bahwa apa yang dilakukannya sering salah, sehingga takut membuat keputusan dan melangkah. Efeknya, akan muncul keinginan untuk selalu berdekatan dengan orang dewasa dan diperhatikan orangtua.
Pemalas
Anak yang sering disalahkan, baik langsung atau pun tidak langsung, biasanya akan memilih jalan aman, yakni dengan berdiam diri atau tidak mau berinisiatif. Jika terjadi terus terjadi dan dibiarkan berulang-ulang, bisa jadi akan muncul sifat malas dalam diri anak. Ketika sudah masuk dalam fase malas, ia tidak akan mau berkompetisi. Jangan harap prestasi, bangkit dari kekalahan saja akan sulit.
Perbaikilah pola didik kita. Ganti kebiasaan mengucapkan kalimat berandai-andai yang berkonotasi menyalahkan dengan kalimat berkonotasi dukungan. Misalnya, ”Andai saja kamu lebih rajin belajar, pasti kamu akan jadi juara”. Ganti dengan kalimat, ”Nggak apa-apa semester ini kamu belum juara, yang penting kamu sudah mau berusaha.”
”Kalau saja kamu nurut sama Mama, pasti kamu gak akan jatuh.” Ganti dengan kalimat, ”Jatuh ya? Sudah nggak apa-apa, lain kali lebih hati-hati ya.”
Dengan kalimat berkonotasi dukungan anak akan menjadi lebih nyaman. Ia tahu bahwa orangtuanya telah menghargai usahanya dan kesalahannya merupakan sebuah kewajaran. Dengan begitu, anak akan menjadi lebih termotivasi untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangannya sebagai bentuk timbal balik atas perhatian dan dukungan yang telah diberikan orangtua kepadanya. (Mohammad Irsyad, Dosen PIAUD IAIN Pekalongan)