(0362) 22442
disdik@bulelengkab.go.id
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

Tak Ada Manusia Sempurna, Pun Ibu dan Anak

Admin disdikpora | 01 Februari 2019 | 1714 kali

Siapapun tak bisa memilih untuk dilahirkan di keluarga seperti apa, dengan ibu yang bagaimana.” Kalimat ini beberapa kali saya dengar, salah satunya dari seorang pemuka agama, saat membahas tema keluarga.

Mendengarnya saya langsung teringat ibu dan anak-anak saya. Dengan ibu, saya banyak tidak cocoknya. Saya merasa beliau tidak seperti ibu teman-teman saya yang begini dan begitu. Maka saya lebih sering menghindari interaksi dan komunikasi dengannya.

Namun setelah sekian lama merantau untuk belajar dan berkarier, saya harus kembali ke rumah karena alasan kesehatan beliau. Kali ini mau tak mau saya harus lebih banyak kompromi. Toh seperti perkataan pemuka agama di atas, saya tak dapat memilih ibu yang melahirkan saya. Jadi bagaimanapun kondisi dan sifatnya, saya harus menerima bahwa beliau adalah ibu saya.

Menoleh pada anak-anak saya membuat saya merenung juga. Sama, mereka tak dapat memilih. Tahu-tahu sudah terlahir dari rahim saya, dibesarkan dan dididik oleh saya. Mungkinkah ada kalanya mereka menginginkan ibu lain? Nelangsa membayangkannya.

Sungguh saya tak ingin hubungan mereka dan saya menjadi seperti saya dan ibu saya. Saya ingin dekat layaknya sahabat bagi mereka. Saya ingin mereka tumbuh dengan baik, penuh kasih sayang namun tak manja saat besar nanti. Sehingga dapat berjuang dan terus semangat menggapai segala angannya. Bisakah?

Pertanyaan itu kerap menghantui. Sebab saya jauh dari kata sempurna atau gambaran ibu hebat seperti dalam banyak artikel pengasuhan. Saya masih kerap marah apabila si sulung langsung naik ke kasur dengan kaki kotor sehabis bermain di luar. Saya sering mengancam akan membuang mainannya jika dia tidak membereskannya usai bermain.

 

Kadang saya juga hilang sabar kalau dia berkeras ingin bermain ke rumah temannya padahal sudah sore. Saya pun kerap membentak untuk meminta pengertiannya kalau dia merengek ketika saya mengurus adiknya yang masih bayi.

Saya menuntut dia lebih dewasa, padahal dia masih balita. Padahal pula dia hanya ingin protes karena kehilangan banyak kebiasaan sejak adiknya lahir, salah satunya sangat jarang dibacakan cerita menjelang tidur.

Saya semakin merasa menjadi ibu kerdil ketika ’main’ di media sosial dan menemukan berbagai unggahan ibu dan anak yang nampak ’wow’. Ada ibu kreatif yang kerap mengajak anaknya membuat kreasi aneka mainan dari barang bekas.

Sementara saya dari kecil selalu frustrasi kalau ada tugas membuat prakarya. Waktunya pun seolah tak pernah ada karena tumpukan berbagai pekerjaan yang harus diselesaikan. Ada juga ibu yang pandai sekali menyiapkan aneka menu masakan menarik dan anaknya lahap bersantap, sementara saya bisanya masak itu-itu saja.

Ah kalau diingat dan ditulis semua keraguan saya, tak akan muat di sini. Lagipula saya harus menghentikan sikap kecil hati seperti ini. Toh walau semua hal di atas, saya masih sering mendengar ucapan, ”Aku sayang mama” dari mulut mungil si sulung disertai senyum polosnya.

Duh, deg-degan saya mendengarnya. Melebihi bahagia saat dulu pacar mengucap hal yang sama.

Bukankah artinya saya masih punya harapan untuk dekat dengannya dan menyuntikkan hal-hal baik walau tanpa predikat ibu sempurna? Lagipula sama halnya dengan kata bijak tiada manusia sempurna, tak ada pula ibu sempurna.

Bahkan seseorang membuat tulisan di HaiBunda.com dengan judul Karena Anak Kita Nggak Butuh Ibu yang Sempurna. Artikel di kanal Lifestyle Kompas.com juga menyemangati dengan judul Jadilah Ibu yang Baik, Bukan Ibu yang Sempurna. Sebab obsesi untuk menjadi ibu yang sempurna rupanya juga berdampak kurang baik untuk anak.

Pesan untuk Ibu Milenial

Saya jadi ingat, di akhir-akhir masa bekerja kantoran saya mengikuti sebuah talkshow pengasuhan anak yang menghadirkan Psikolog Vera Itabiliana Hadiwijdjojo dan beberapa ibu selebgram. Saat itu saya membuat artikel dengan judul Ingin Anak Tumbuh Ceria? Jadilah Ibu Bahagia.

 

Intinya, kondisi psikologis seorang ibu sangat berpengaruh pada kestabilan emosi anak. Penelitian membuktikan, anak yang diasuh dan berada dalam lingkungan yang bahagia serta tercukupi kebutuhannya cenderung lebih ceria dan mudah bersosialisasi dalam masyarakat. Karenanya pada kesempatan itu Vera mengajak para ibu untuk selalu bahagia dan memancarkan semangat positifnya.

Pesan ini ditujukan terutama untuk para ibu milenial. Kenapa? Karena ibu yang lahir pada pertengahan tahun 80-an hingga pertengahan 90-an ini sangat akrab dengan teknologi dan melek informasi. Akibatnya cenderung menekan diri karena tuntutan menjadi ibu sempurna seperti yang banyak dilihatnya di media sosial.

”Saking banyaknya informasi yang diserap kadang menjadikan para ibu milenial overwhelm (terhanyut). Negatifnya jadi pengin serba bisa, ingin melakukan segalanya sendiri. Baik jika masih dalam kadar wajar, tapi menjadi tidak baik kalau terlalu keras pada diri sendiri, misal nggak mau dibantu pengasuh anak dan harus tahu anak bunyi ’a’ dan ’e’ artinya apa. Akibatnya stres,” ujar Vera mengingatkan.

Lebih parahnya, lanjut dia, banyak ibu milenial yang ingin serba sempurna itu menjadi tidak siap dengan sesuatu yang di luar rencana. Efek buruknya, kesehatan mental ibu bersangkutan terganggu.

”Kadang juga terlalu fokus melihat perkembangan anak lain, ’Wah anak itu sudah bisa berenang, wah ibu itu bisa menyusui eksklusif dan sebagainya.’ Akibatnya jadi lupa mengenali anak sendiri. Padahal setiap ibu dan anak punya keunikannya masing-masing,” lanjut Vera.

Hindari Overdosis Gawai

Salah satu trik jadi ibu happy menurut Vera adalah bergabung di berbagai komunitas. Ada banyak sekali pilihannya. Mulai dari Komunitas Ibu Profesional, Komunitas Exclusive Pumping Mama Indonesia (E-Ping), Emak-emak Blogger, hingga komunitas berdasar bulan lahir anak, seperti Komunitas Birth Club November dan sebagainya. Namun Vera berpesan hindari ’Moms War’ dan ikut arus. 

Terkadang, karena banyak bergabung sana sini ibu jadi lupa membatasi diri, atau jadi ikut arus saja. Sehingga turut terjebak pula dalam ’Moms War’, misalnya ’working mom vs not working mom’, menyusui langsung vs pakai dot dan sebagainya.

Sekali lagi Vera mengingatkan, setiap ibu dan anak itu unik dengan segala kekurangan dan kelebihannya, tak ada yang sempurna. Misal tidak semua ibu bisa memberikan ASI eksklusif.

Bagaimana menghadapinya? ”Tinggalkan saja. Jika itu terjadi di media sosial, unfollow saja. Ingat, kitalah yang punya kontrol terhadap diri dan akun media sosial kita,” saran Vera. 

 

Hal lain yang diingatkan Vera adalah ’overdosis gadget’. Memang, aktivitas social media scrolling, melihat ibu-ibu dan anak-anak lain dengan segala keseruannya menimbulkan kesenangan tersendiri. Jadinya kebablasan. Ibu yang keasyikan sendiri dengan gawainya biasanya membiarkan anak melakukan hal serupa. ”Teknologi menjadi negatif kalau tidak dibatasi,” tandas Vera.

Vera lantas mencontohkan persoalan klien yang datang padanya. ”Rata-rata membawa anak speech delay. Sebabnya, karena ekspos teknologi berlebihan. Memang salah satu negatifnya generasi milenial adalah ’mendewakan’ teknologi. Alasannya ’anak-anak saya terbukti mengenal warna dan huruf lebih cepat.’ Padahal banyak media lain yang lebih positif, misal mengenalkan warna warni di taman, atau menyusun puzle kayu ketimbang menyusun puzle melalui game di gawai,” pungkasnya mewanti. (Tari – Ibu rumah tangga, penulis lepas, mantan jurnalis. Foto: Fuji Rachman)