Captain Underpants: The First Epic Movie sebuah film Hollywood terkenal bercerita tentang dua orang anak yang bersahabat begitu erat sejak mereka duduk di taman kanak-kanak. Mereka adalah George dan Harold.
Kedua anak ini sangat dimusuhi Mr. Krupp, kepala sekolah dimana kedua sahabat tersebut belajar. Dia merasa sangat gerah dengan berbagai perilaku George dan Harold karena menimbulkan banyak kekacauan.
Masalah siswa yang ditampilkan dalam film tersebut adalah masalah yang juga terjadi di sekolah di Indonesia. Kebanyakan siswa senang datang ke sekolah bukan karena pelajaran, tetapi karena ingin bertemu dengan teman-temannya.
Ada banyak siswa yang tidak antusias belajar di sekolah. Ketika libur tiba, para siswa berteriak kegirangan bukan saja karena lepas dari tugas-tugas belajar, namun juga dari guru yang kaku dan tidak menyenangkan.
Mungkin saja siswa yang ingin keluar dari kekakuan guru atau sekolah akan mengekspresikannya dengan cara yang salah. Seperti menjadi ribut di kelas, suka berargumen, dan terkesan masalah.
Tidak jarang pendidik, orang tua, bahkan masyarakat sekitar memberi label kepada siswa seperti ini sebagai siswa yang nakal dan tidak tahu sopan santun. Itulah sebabnya banyak siswa penurut yang memilih menikmati saja segala kekakuan ini supaya tidak mendapat masalah.
Apabila hal seperti terus berjalan di berbagai sekolah di Indonesia, maka yang dihasilkan adalah generasi penurut sekaligus tidak mampu mengkritisi apapun. Mereka tumbuh sebagai siswa yang tidak merdeka. Hak sebagai manusia merdeka yang bebas berkreasi dan berinovasi dibatasi dengan banyak aturan tetapi tidak diimbangi dengan pemberian ilmu pengetahuan yang baik di sekolah.
Sebagai pendidik, tentulah kita tidak mau negara ini dipimpin generasi penurut, tetapi tidak mampu berkreasi dan berinovasi. Itulah sebabnya, siswa sangat perlu diberi kemerdekaan dari sekolah agar dilatih sebagai manusia merdeka di negara merdeka.
Setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan:
Pertama, mengembalikan hak siswa
Siswa berhak mendapatkan ilmu pengetahuan di sekolah secara optimal. Pendidik yang mau mengembalikan hak siswa untuk belajar adalah apabila mereka mempersiapkan materi ajar sangat baik dan tidak pernah malas belajar meningkatkan pengetahuan. Pendidik yang memberi kemerdekaan tidak fokus pada definisi, tetapi pada analisa. Menghadirkan kesibukan yang menyenangkan di ruang kelas dengan membangkitkan daya cipta setiap siswa. Guru tidak hanya mengajar isi dari mata pelajaran, namun juga memampukan anak untuk belajar melalui strategi dan aktivitas yang diciptakan oleh guru itu sendiri.
Kedua, memberikan kemerdekaan
Melalui kedisiplinan yang tidak kaku siswa mendapatkan kemerdekaan. Guru harusnya lebih fokus kepada memperbaiki perilaku bukan kepada hukuman. Penggunaan hukuman menulis 100 kalimat ”Saya akan mengerjakan PR” untuk menghukum anak seharusnya dihindari. Sama seperti ketika anak diminta untuk berdiri dengan satu kaki di belakang kelas karena dia agak gaduh . Tidakkah kita khawatir bahwa siswa akan tumbuh menjadi generasi penakut dan hanya patuh karena tidak mau dihukum, dan bukan karena mereka mengerti kenapa itu tidak boleh dilakukan? Saya mengantisipasi pelanggaran siswa dengan membuat kontrak belajar yang jelas di awal tahun pembelajaran. Kontrak belajar akan disertai beberapa kesepakatan bersama demi ketertiban dan keoptimalan proses belajar mengajar. Dengan memberi pemahaman yang baik, mereka akan menjadi siswa yang sportif menjalani sanksi sekaligus tidak lagi mengulanginya. (Julpri Ernawanti Tampubolon, guru di Pekanbaru, Riau)
Download disini